Minggu, 26 April 2015

Suku Kutai

Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di Kalimantan Timur melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot Danum (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak.

Sejarah Suku Kutai
Suku atau orang Kutai umumnya berdiam di daerah Provinsi Kalimantan Timur. Sebenarnya pada zaman dulu orang Kutai juga tergolong ke dalam kelompok masyarakat Dayak. Diperkirakan masih satu asal dengan orang Tunjung. Pada masa sekarang mereka dibedakan dengan orang-orang Dayak lain karena umumnya memeluk agama Islam. Mereka sering disebut Halok atau Halo' untuk membedakannya dengan orang Dayak yang belum memeluk agama Islam. Pada zaman dulu mereka sempat memiliki kesultanan yang cukup kuat di wilayah Kalimantan bagian timur itu. Orang Kutai berasal dari keturunan ras proto Melayu yang sampai ke Kalimantan Timur sekitar 3.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya mereka telah banyak mengalami pengaruh-pengaruh dari peradaban luar seperti Hindu yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Jawa, kemudian oleh Islam yang dibawa oleh pendatang dari suku Bugis. Masyarakat ini terdiri atas beberapa sub-suku bangsa yang mereka sebut puak. Contoh dari puak-puak ini antara lain adalah Pantun, Punang, Pahau, Telur Dijangkat, Meranti dan lain-lain. Jumlah populasi suku bangsa ini diperkirakan sekitar 400.000 jiwa orang, termasuk orang Kutai yang berdiam di wilayah lainnya di Kalimantan Timur, seperti daerah Pasir, Berau dan Bulungan.
Orang Kutai menggunakan bahasa Melayu, yang terbagi lagi atas beberapa dialek, yaitu Kutai Tenggarong yang mendiami daerah-daerah Tenggarong, Kutai Lama, Muara Kaman, Muara Pahu, Melak, Long Iram, Kutai Bangun yang berdiam di daerah-daerah Kota Bangun, Muara Muntai, Kembang Janggut, Long Beleh, Sebulu, Penyinggahan, Kutai Muara Ancalong yang berdiam di daerah-daerah Muara Ancalong, Kelinjau, Sebintulung, Kutai yang berdiam di daerah Muara Pahu bagian hulu sungai. Orang Kutai hidup berdampingan dengan suku bangsa bugis, Banjar, Jawa, Benuaq, Bahau, Long Dusun, Kenyah, Tunjung, Punan, Bentian, Penihing, Ohong, Bukat dan Basap.
Di daerah Kutai pernah berdiri sebuah kerajaan Hindu tertua di Indonesia . Peninggalan sejarah yang berasal dari abad ke-4 itu dibuktikan oleh adanya tujuh prasasti yang disebut yupa bertuliskan huruf Palawa di daerah Muara Kaman sekarang. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi untuk menambatkan hewan korban dalam upacara dalam agama Hindu. Bahasa yang digunakan pada prasasti itu adalah bahasa Sansekerta. Kini tulisan itu semakin kabur dan keadaannya sudah berbeda dengan ketika prasasti itu ditemukan. Sejarah Kutai baru muncul lagi setelah masa Islam, ditandai dengan berdirinya Kesultanan Kutai setelah abad ke-16. Pemerintahan Kesultanan berakhir ditangan Aji Muhammad Parikesit (1920-1960). Sampai dengan tahun 1959 daerah Kutai masih menyandang nama "daerah istimewa". Sekarang statusnya telah disamakan sebagai sebuah Kabupaten. Bekas istana Sultan Kutai masih berdiri di Tenggarong dan telah dijadikan Museum Negeri Kalimantan Timur.
Kesultanan Kutai pernah mengembangkan suatu tradisi penobatan raja yang disebut Erau. Nama upacara ini berasal dari kata eroh yang berarti "ramai", hal ini berkaitan dengan keriuhan suasana pada waktu penobatan raja berlangsung. Walaupun kesultanan itu sudah tidak ada lagi, tetapi tradisi Erau masih dilakukan oleh keturunan bangsawan Kutai dengan mengalihkannya menjadi Festival kebudayaan rakyat Kutai, sekaligus perayaan hari jadi Tenggarong.

Mata Pencaharian Suku Kutai
Orang Kutai hidup dari pertanian lahan kering, yaitu perladangan di lahan yang masih cukup luas. Di samping itu diantara mereja juga ada yang menjadi nelayan, menangkap ikan di danau, sungai, rawa, dan tambak. Hasil pertaniannya menghasilkan padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan sayur-mayur lainnya. Hutannya yang luas menghasilkan macam-macam kayu kering yang berharga dijual, seperti kayu meranti, kruing, kayu kapur, kayu bangkirai. Kini berkembang pula industri pengolahan kayu. Orang Kutai yang berdiam di kota yang bergerak di bidang jasa, menjadi buruh, dan pegawai.

Kekerabatan Dalam Suku Kutai
Sistem hubungan kekerabatan masyarakat Kutai bersifat patrilineal, artinya garis keturunan ditarik ke pihak laki-laki. Pada masa lalu mereka juga mengenal pelapisan sosial, yang terdiri atas bangsawan, rakyat kebanyakan, dan hamba sahaya. Sisa kaum bangsawan Kutai terlihat dari gelar yang mereka pakai, seperti Kiamas, Mas, Aji, Raden, Pangeran Datu. Sekarang penghormatan terhadap seseorang dalam masyarakat Kutai bukan lagi atas dasar bangsawan, akan tetapi atas tinggi pendidikan yang diperoleh, status dalam pemerintahan dan kekayaan.

Kesenian Dalam Suku Kutai
Dalam bidang kesenian orang kutai mengenal suatu seni sastra yang disebut tarsulan, yaitu syair yang dibacakan dengan berlagu. Biasanya dibawakan pada upacara perkawinan, khitanan, naik ayunan, dan khatam Al-Quran. Ada pula yang disebut betingkilan, yaitu seni berbalas pantun antar pemuda dan gadis sambil berlagu.

Agama Dan Kepercayaan Suku Kutai

Pada masa sekarang orang Kutai umumnya memeluk agama Islam. Sisa-sisa agama Hindu masih terlihat dalam berbagai upacara daur hidup, misalnya upacara naik ayun, pemberian nama bayi, pengobatan tradisional, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar