Suku Kutai atau Urang Kutai
adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini
beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak,
khususnya dayak rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai
yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di Kalimantan Timur
melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian dengan masuknya
budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda
budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat
bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan
jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan
Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun
Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga
dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun
Ot Danum (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan
adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya;
Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan
penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya,
panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana
adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat
ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut
kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak.
Sejarah Suku Kutai
Suku atau orang Kutai umumnya berdiam di daerah Provinsi
Kalimantan Timur. Sebenarnya pada zaman dulu orang Kutai juga tergolong ke
dalam kelompok masyarakat Dayak. Diperkirakan masih satu asal dengan orang
Tunjung. Pada masa sekarang mereka dibedakan dengan orang-orang Dayak lain
karena umumnya memeluk agama Islam. Mereka sering disebut Halok atau Halo'
untuk membedakannya dengan orang Dayak yang belum memeluk agama Islam. Pada
zaman dulu mereka sempat memiliki kesultanan yang cukup kuat di wilayah Kalimantan
bagian timur itu. Orang Kutai berasal dari keturunan ras proto Melayu yang
sampai ke Kalimantan Timur sekitar 3.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya
mereka telah banyak mengalami pengaruh-pengaruh dari peradaban luar seperti
Hindu yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Jawa, kemudian oleh Islam yang
dibawa oleh pendatang dari suku Bugis. Masyarakat ini terdiri atas beberapa
sub-suku bangsa yang mereka sebut puak. Contoh dari puak-puak ini antara lain
adalah Pantun, Punang, Pahau, Telur Dijangkat, Meranti dan lain-lain. Jumlah
populasi suku bangsa ini diperkirakan sekitar 400.000 jiwa orang, termasuk
orang Kutai yang berdiam di wilayah lainnya di Kalimantan Timur, seperti daerah
Pasir, Berau dan Bulungan.
Orang Kutai menggunakan bahasa Melayu, yang terbagi lagi
atas beberapa dialek, yaitu Kutai Tenggarong yang mendiami daerah-daerah
Tenggarong, Kutai Lama, Muara Kaman, Muara Pahu, Melak, Long Iram, Kutai Bangun
yang berdiam di daerah-daerah Kota Bangun, Muara Muntai, Kembang Janggut, Long
Beleh, Sebulu, Penyinggahan, Kutai Muara Ancalong yang berdiam di daerah-daerah
Muara Ancalong, Kelinjau, Sebintulung, Kutai yang berdiam di daerah Muara Pahu
bagian hulu sungai. Orang Kutai hidup berdampingan dengan suku bangsa bugis,
Banjar, Jawa, Benuaq, Bahau, Long Dusun, Kenyah, Tunjung, Punan, Bentian, Penihing,
Ohong, Bukat dan Basap.
Di daerah Kutai pernah berdiri sebuah kerajaan Hindu tertua
di Indonesia . Peninggalan sejarah yang berasal dari abad ke-4 itu dibuktikan
oleh adanya tujuh prasasti yang disebut yupa bertuliskan huruf Palawa di daerah
Muara Kaman sekarang. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi untuk menambatkan
hewan korban dalam upacara dalam agama Hindu. Bahasa yang digunakan pada
prasasti itu adalah bahasa Sansekerta. Kini tulisan itu semakin kabur dan
keadaannya sudah berbeda dengan ketika prasasti itu ditemukan. Sejarah Kutai
baru muncul lagi setelah masa Islam, ditandai dengan berdirinya Kesultanan
Kutai setelah abad ke-16. Pemerintahan Kesultanan berakhir ditangan Aji
Muhammad Parikesit (1920-1960). Sampai dengan tahun 1959 daerah Kutai masih
menyandang nama "daerah istimewa". Sekarang statusnya telah disamakan
sebagai sebuah Kabupaten. Bekas istana Sultan Kutai masih berdiri di Tenggarong
dan telah dijadikan Museum Negeri Kalimantan Timur.
Kesultanan Kutai pernah mengembangkan suatu tradisi
penobatan raja yang disebut Erau. Nama upacara ini berasal dari kata eroh yang
berarti "ramai", hal ini berkaitan dengan keriuhan suasana pada waktu
penobatan raja berlangsung. Walaupun kesultanan itu sudah tidak ada lagi,
tetapi tradisi Erau masih dilakukan oleh keturunan bangsawan Kutai dengan
mengalihkannya menjadi Festival kebudayaan rakyat Kutai, sekaligus perayaan
hari jadi Tenggarong.
Mata Pencaharian Suku
Kutai
Orang Kutai hidup dari pertanian lahan kering, yaitu
perladangan di lahan yang masih cukup luas. Di samping itu diantara mereja juga
ada yang menjadi nelayan, menangkap ikan di danau, sungai, rawa, dan tambak.
Hasil pertaniannya menghasilkan padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah
dan sayur-mayur lainnya. Hutannya yang luas menghasilkan macam-macam kayu
kering yang berharga dijual, seperti kayu meranti, kruing, kayu kapur, kayu
bangkirai. Kini berkembang pula industri pengolahan kayu. Orang Kutai yang
berdiam di kota yang bergerak di bidang jasa, menjadi buruh, dan pegawai.
Kekerabatan Dalam
Suku Kutai
Sistem hubungan kekerabatan masyarakat Kutai bersifat
patrilineal, artinya garis keturunan ditarik ke pihak laki-laki. Pada masa lalu
mereka juga mengenal pelapisan sosial, yang terdiri atas bangsawan, rakyat
kebanyakan, dan hamba sahaya. Sisa kaum bangsawan Kutai terlihat dari gelar
yang mereka pakai, seperti Kiamas, Mas, Aji, Raden, Pangeran Datu. Sekarang
penghormatan terhadap seseorang dalam masyarakat Kutai bukan lagi atas dasar bangsawan,
akan tetapi atas tinggi pendidikan yang diperoleh, status dalam pemerintahan
dan kekayaan.
Kesenian Dalam Suku
Kutai
Dalam bidang kesenian orang kutai mengenal suatu seni sastra
yang disebut tarsulan, yaitu syair yang dibacakan dengan berlagu. Biasanya
dibawakan pada upacara perkawinan, khitanan, naik ayunan, dan khatam Al-Quran.
Ada pula yang disebut betingkilan, yaitu seni berbalas pantun antar pemuda dan
gadis sambil berlagu.
Agama Dan Kepercayaan
Suku Kutai
Pada masa sekarang orang Kutai umumnya memeluk agama Islam.
Sisa-sisa agama Hindu masih terlihat dalam berbagai upacara daur hidup,
misalnya upacara naik ayun, pemberian nama bayi, pengobatan tradisional, dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar